Kebijakan Interoperabilitas Data pada Teknologi Finansial Pasca UU Perlindungan Data Pribadi

  • ADMINADMIN
  • 01 Januari 2024
  • 40

Kehadiran teknologi finansial (Fintech) dalam kegiatan perekonomian mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas produk jasa keuangan. Hal ini ditunjukan data bahwa sebelum maraknya jumlah fintech pada tahun 2013, inklusi keuangan di Indonesia berada pada angka 59,74% tetapi di 2023 atau ada hampir 300 lebih fintech inklusi keuangan mencapai 85,1% (OJK, 2022). Pertumbuhan jumlah fintech yang disertai peningkatan angka inklusi keuangan menjadi preseden positif akan kehadiran fintech. 

Kemunculan fintech mendisrupsi lembaga jasa keuangan tradisional seperti bank dan lembaga pembiayaan multifinance dalam pemberian layanan keuangan. Peran inovasi dan teknologi merupakan pembeda utama dalam persaingan tersebut. (Batunanggar, 2019) Misal seorang individu jika membutuhkan pinjaman dana dapat diperoleh secara cepat dan dengan bunga yang sudah diatur batasnya oleh otoritas. Sebelumnya, hal tersebut hanya dapat dilayani  oleh bank keliling yang dapat menjerat individu dengan bunga yang sangat tinggi. Selain itu, data peminjam dapat diolah secara cepat melalui mesin seperti e-kyc dan tanda tangan digital sehingga membantu masyarakat yang tergolong underbank dan unbanked untuk mendapat pinjaman dan menggerakan perekonomian di berbagai daerah. (Arner, et al, 2020)

Pencapaian dan dampak positif fintech tentu disertai dengan beragam dampak negatif. Kepedulian akan data di era digital ini semakin meningkat disebabkan maraknya isu mengenai kebocoran data, eksploitasi data pribadi untuk kepentingan pemasaran, dan interoperabilitas data untuk kebutuhan konsumen. Bank Indonesia sudah memiliki blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang diluncurkan sejak tahun 2019 dimana interoperabilitas dijawantahkan melalui open banking dan standar nasional open api (BI SNAP). (Bank Indonesia, 2019)

Khusus untuk isu interoperabilitas dalam konteks kredit, Indonesia sudah sejak lama mengenal istilah BI Checking yang saat ini sudah dipindahkan wewenangnya ke OJK sehingga dikenal istilah Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Akan tetapi, interoperabilitas ini masih terbatas dalam pemberian informasi kredit nasabah terutama antara fintech dan Bank. Ini cukup disayangkan mengingat sejak adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) pertukaran data harusnya dapat dilakukan lebih cepat dan lebih luas cakupannya karena sudah ada jaminan perlindungan data.

Bank selama ini sudah diatur terlebih dahulu melalui UU Perbankan, sehingga mereka memiliki aturan main yang jelas terkait data. Fintech selama ini banyak diatur dalam regulasi dan regulator yang berbeda-beda sehingga memiliki standar keamanan yang berbeda juga. Kehadiran UU PDP seharusnya menjadi penjembatan antara bank dan fintech dalam urusan interoperabilitas data karena keduanya juga diatur melalui standar BI SNAP dan peraturan OJK yang mengatakan dengan jelas bahwa data seharusnya dikembalikan kepada konsumen. Makalah ini akan membahas bagaimana kebijakan interoperabilitas di fintech akan berhubungan erat dengan persetujuan konsumen dan akan beririsan dengan bank yang diatur dalam peraturan berbeda. Harmonisasi kebijakan di lembaga jasa keuangan akan menjadi fokus dalam makalah ini guna mempercepat capaian inklusi keuangan di Indonesia.

Download

Press ESC to close